Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Al-qur’an merupakan
pedoman hidup bagi ummat Islam, petunjuk bagi ummat manusia (hudaalinnas)
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (hudallilmuttaqien). Al-qur’an merupakan
mu’jizat yang terbesar Rasulullah Saw.
Alqur’an yang mulia
diturunkan kepada rasul yang berbangsa Arab dengan bahasa Arabnya yang jelas
dan tegas. Fenomena semacam ini menjadi sangat penting untuk memenuhi tuntutan
sosial bagi keberhasilan risalah Islam. Sejak saat itu bahasa Arab menjadi satu
bagian dari eksistensi Islam dan asas komunikasi penyampaian
dakwahnya.(Al-Qaththan; 394)
Firman
Allah Swt :
( وماارسلنا
من رسول الا بلسان قومه ليبين لهم (ابراهيم
“Kami
tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka”.(Qs,Ibrahim:
4).
Maka untuk mengerti,
mengetahui dan memahami isi Al-qur’an, para mufassirin menafsirkan Al-qur’an
agar ummat Islam dapat mempelajari dan dapat membedakan macam-macam tafsir
Al-qur’an yang mulia.
Dalam makalah ini penulis
berusaha membahas tentang Al-tafsir bi al-ma’tsur dan Al-tafsir bi al-ra’y
dengan sub topiknya.
B.
RumusanMasalah
1.
Apakah makna dan hakikat dari tafsir bilma’tsur dan tafsir bil ra’yi?
2.
Bagaimana bentuk-bentuk tafsirbilma’tsurdantafsirbilra’yi?
3.
Apakah perbedaan pendapat para ulama tentang tafsir bilma’tsur dan tafsir bil ra’yi?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui makna dan hakikat dari tafsir bilma’tsur dan tafsir bilra’yi
2.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk tafsir bilma’tsur dan tafsir bilra’yi
3.
Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang tafsir bilma’tsur dan tafsir bil ra’yi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
1.
Pengertian tafsir bil ma’tsur
Tafsir
bil-Ma’tsur ialah tafsir yang
berdasarkan Al-Qur’an atau riwayat yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an (ayat dengan ayat), Al-Qur’an dengan Sunnah, perkataan sahabat
karena merekalah yang mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh
besar tabi’in. Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Tafsir
Riwayat (ma’tsur) ialah rangkaian
keterangan yang terdapat dalam Al-Quran, Sunah, atau kata-kata Sahabat sebagai
penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Quran dengan As-Sunah
Nabawiyyah. Dengan demikian, maka tafsir maksur adalah tafsir Al-Quran dengan
Al-quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunah atau penafsiran
Al-Quran menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
Tafsir bir ra’yi ialah
tafsir yang didalam menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya
berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun
didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini dalam
memahami Al-Qur’an tidak sesuai dengan ruh syari’at yang didasarkan pada
nash-nashnya. Rasio semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada
penyimpangan terhadap Kitabullah.
Menurut ulama
tafsir, tafsir dirayah disebut juga tafsir ra’yu atau
tafsir dengan akal (ma’qul), karena penafsiran kitab Allah bertitik tolak dari
pendapatnya dan ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan dari
sahabat atau tabi’in. Yang dimaksud dengan tafsir bi al ra’yi, menurut ahli
tafsir adalah “Ijtihad” yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah
yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang
hendak mendalami Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya.
B.
Bentuk tafsir bilma’tsur dan tafsir bil ra’yi
Penafsiran terhadap
Al-qur’an ada dua macam, sebagai berikut :
1.
Bentuk-bentuktafsirbilma’tsur
a.
Tafsir
Al-Quran dengan Al-Quran
Contoh:
احلت
لكم بهيمة الا نعام الا ما يتلى عليكم (المائدة : )
Artinya;
“... Dihalalkan
bagimu binatang ternak kecuali yang akan disebutkan kepadamu ...” (QS.
Al-Maidah: 1)
Dijelaskan
oleh firman Allah:
حرمت عليكم الميتة والد م ولحم
الخنزير وما اهل لغير الله (المائدة :)
”Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan
atas (nama) Allah ...”.(QS. Al-Maidah: 3).
Firman
Allah:
والسماء والطارق (الطارق:)
Artinya:
“Demi langit dan yang
datang pada malam hari”.(QS. At-Thariq: 1)
Kata At-Thariq dijelaskan
dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula:
النجم الثا قب (الطرق:)
Artinya:
“(Yaitu) bintang yang
cahayanya menembus”. (QS. At-Thariq: 3)
b.
Tafsir
Al-quran dengan Sunah
Contoh Sunah Rasul yang
berfungsi sebagai tafsir dan penjelasan Al-Quran.
Rasulullah Saw
menjelaskan “zalim dengan syirik” dalam firman Allah:
الذين امنوا ولم يلبسوا ايمانهم
بظلم اولئك لهم الامن وهم مهتزون (الانعام :)
Artinya:
“Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.”(QS. Al-An’am: 82)
Rasulullah mengatakan
penafsiran ini dengan firman Allah:
ان الشرك لظلم عظيم
(لقمان: )
Artinya:
“Sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.”(QS. Luqman: 13)
c.
Tafsir
Sahabat
Masih ada lagi bagian
yang ketiga dari pembagian tafsir ma’tsur, yaituTafsir sahabat. Tafsir
ini juga termasuk yang muktamad (dapat dijadikan pegangan) dan
dapat diterima, karena para sahabat pernah berkumpul dan bertemu dengan Nabi
Saw, dan mereka mengambil sumbernya yang asli dan telah menyaksikan turunnya
wahyu dan turunnya Al-qur’an, serta mengetahuiasbabun nuzul. Mereka
mempunyai tabiat jiwa yang murni, fitrah yang lurus dan berkedudukan tinggi
dalam hal kefasihan dan kejelasan berbicara mereka memiliki kemampuan dalam
memahami Kalam Allah. Dan hal lain yang ada pada mereka tentang rahasia-rahasia
Al-Quran sudah tentu melebihi orang lain.
Al-Hakim berkata,
“kedudukan tafsir sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Quran adalah
marfu’. Tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadis Nabi
yang silsilahnya sampai kepada Nabi. Karena itu tafsir sahabat termasuk
ma’tsur.”
Adapun tentang kedudukan
tafsir tabi’in, ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang berpendapat
bahwa tafsir tabi’in itu termasuk tafsir ma’tsur karena
sebagian besar pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian ulama
berpendapat bahwa tafsir tabi’in termasuk tafsir dengan ra’yuatau akal,
dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan para mufassir
lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan Al-Quran sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadis).
2.
Bentuk-bentuk tafsir bil ra’yi
Al-tafsir bi al-ra’yi terbagi
dalam dua bagian yaitu
a.
Tafsir
mahmud (terpuji)
Tafsirmahmud ialah
tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan,
sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya
dalam memahami teks Al-Qur’an. Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an menurut
ra’yunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut dengan berpegang
pada makna-makna Al-qur’an maka penafsirannya dapatdiambil serta patut dinamai
dengan tafsir mahmud atau tafsir masyru (berdasarkan syari’at).
b.
Tafsir
mazmum (tercela)
Tafsir mazmum yaitu
bila Al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya tanpa
mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Allah ditafsirkan menurut
pendapat yang salah dan sesat. Ash-shaabuuny mengatakan; Bila seseorang tidak
memahami kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya, ia akan berjalan sebagaimana unta
buta yang otaknya miring dan pemahamannya picik. Begitu pula orang yang tidak
memahami tujuan syara’, ia pun akan terjerumus dalam lembah kejahatan dan
kesesatan.
Contohnya orang yang
mengambil kesimpulan ayat secara lahir dari firman Allah:
ومن كان فى هذه اعمى فهو فى الاخرة
اعمى واضل سبيلا (الاسراء :)
Artinya;
“Dan barang siapa yang
buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nant)i ia akan lebih buta
(pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.(QS.
Al-Isra: 72)
Ia menetapkan bahwa
setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam.
Padahal yang dimaksud buta disini bukanlah buta mata, tetapi buta hati,
berdasarkan alasan firman Allah:
فانها لا تعمى الابصار ولكن تعمى
القلوب التى فى الصدور (الحج:)
Artinya;
“... Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.” (QS. Al-Hajj:
46)
C. Perbedaan pendapat tentang tafsir bil mu’tasir dan tafsir bil ra’yi
1.
Pendapat para ulama tentang tafsir bil ma’tsur
Faudah menjelaskan bahwa tafsir bil ma’tsur meliputi tafsir Alquran dengan
Alquran, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dengan nukilan dari para
sahabat dan tafsir dengan nukilan para tabi’in. Sementara al-Zahabi dan as-Sayuti mengatakan bahwa tafsir bil ma’tsur
adalah penjelasan dan perincian Alquran sendiri terhadap sebagian ayat-ayatNya,
penafsiran yang dilakukan Rasulullah saw, para sahabat dan tabi’in yang berupa
penjelasan terhadap firman Allah swt dalam Alquran.
2.
Pendapat para ulama tentang tafsir bil ra’yi
Al-Qurtubi
berkata, “Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya
(yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah maka ia adalah
orang yang keliru dan tercela, dan termasuk orang yang menjadi sasaran hadis:
من
كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من النار ومن قال في القران برا يه فليتبوا مقعده من
النار (رواهالترمذى )
Artinya:
“Barang siapa yang
mendustakankusecara sengaja niscaya ia harus bersedia menempatkan dirinya di
neraka.” Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yu atau
pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menempatkan diri di neraka.”(HR.
Turmudzi dari Ibnu Abbas).
Imam
Qurtubi mengatakan dalam mukaddimah tafsirnyaAl-jami’li Ahkamil Qur’an bahwa
hadis Ibnu Abbas tersebut memiliki dua penafsiran.
a.
Barang
siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak
didasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menantang
Allah.
b.
Barang
siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an dengan suatu pendapat, sedangkan ia
mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia harus bersedia
menempatkan diri di neraka.
Al-Qurtubi
mendukung pendapat yang kedua. Ia mengatakan bahwa pendapat tersebut adalah
paling tepat dan paling benar. Ia berkata pula bahwa hadis jundab telah
ditafsirkan oleh sebagian ahli ilmu yang menyatakan bahwa dalam hadis tersebut,
ra’yu diartikan dengan hawa nafsu. Dalam arti barangsiapa yang menafsirkan
Al-Qur’an dengan nafsunya, yaitu dengan tidak berdasarkan pendapat Imam
terdahulu kemudian ia secara kebetulan benar, niscaya ia melakukan kesalahan
karena menetapkan Al-Qur’an berdasarkan dengan ketetapan yang tidak diketahui
dasarnya, dan tidak bertitik tolak pada ahli hadis dan riwayat.
Ibnu
Athiyah mengatakan bahwa pengertian diatas adalah, “Bila seseorang ditanya
tentang satu makna dari kitab Allah kemudian ia menjawab berdasarkanra’yu nya
tanpa memandang pendapat yang telah dikatakan ulama dan ketentuan-ketentuan
tentang ilmu Al-Qur’an, seperti nahwu dan ushul, dan pengertian itu
tidak termasuk ahli bahasa menafsirkan secara bahasanya, ahli nahwu
secara nahwunya, ahli fiqih menafsirkan secara hukumnya dan masing-masing
mengatakan berdasarkan ijtihadnya yang berdasarkan kaidah ilmu dan bidangnya,
maka ia bukanlah berpendapat semata-mata menurut pendapatnya atau ra’yu nya.
D.
Kelemahan Dan Keutamaan Dari Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’y
1.
Keistimewaan tafsir
bi al-ma’tsur menurut Quraisy Shihab sebagai berikut:
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
b.
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c.
Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
d.
Tafsir bil ma’tsur
adalah tafsir yang paling baik mengingat al-Qur’an ditafsirkan oleh al-Qur’an,
hadits, serta sahabat apabila riwayat tersebut benar-benar shahih dan sanadnya
sampai kepada Nabi Muhammad saw.
2.
Menurut Adz-Dzahabi ada beberapa kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur antara lain sebagai berikut:
a. Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
b. Penghilangan sanad
c.
Mufasir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele - tele sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.
d. Kronologis asbab
an-Nuzul hukum yang di pahami dariuraian (naskh-mansukh) hampir di katakana terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun
di tengah-tengah masyarakat
yang hampa budaya.
e. Masuknya unsure israiliyyat
yang di definisikan sebagai unsure Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran al-Quran.
3. Keutamaan
tafsir bil ra’yi
Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada
kita agar hendaknya suka merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam
firman-Nya:
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوْا اَيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا ْالاَلْبَابِ
Artinya: (inilah) kitab yang kami
turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka emmperhatikan ayat-ayat
dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal" (QS.Shad:29)
dan firman Allah SAW:
أَفَلاَيَتَدَبَّرُوْنَ
اْلقُرْانَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya : Tidakkah mereka
memperhatikan al-Qur'an?bahkan adakah kunci atas hati (mereka)
(QS.Muhammad:24)
"merenung dan berpikir "
tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-Qur'an dan
berijtihad untuk emmahami makna-maknanya.
Allah memerintahkan kepada
orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada ulama'. sebagaimana
telah dijelaskan dalam firman-Nya:
وَلَوْ رَدُّوْهُإَلَى الرَّسُوْلِ
وَإِلَى أُولِى اْلاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِظُوْنَهُ
مِنْهُمْ
Artinya:
kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang mempunyai urusan
di anatar mereka, noscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui
akan hal ini (QS.An-Nisa:83)
Istinbath
berarti menggali dan mengeluarkan makna-makna yang mendalam yang terdapat di
lubuk hati
Istinbath
itu hanya bisa dilakukan dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Al-Qur'an
Kalau tafsir
dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak diperbolehkan,
dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak benar
Sesungguhnya para sahabat telah
emmbaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam menafsirkannya. Juga telah maklum
bahwa tidakm semua yang mereka katakana tentang al-Qur'an tiu mmereka dengar
dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan segala sesuatu kepada mereka,
melainkan beliau terangkan kepada mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok).
Beliau menginggalkan yang sebagain, yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan,
akal, dan ijtihad
4.
Kekurangan dari tafsir bil ra’yi
Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan,
begitujuga dengan tafsir bil ra’yi ini. Pada tafsir ini tidak bias dinilai dengan mutlak akan kebenarannya.
Karena pada tafsir ini tidak mengambil dari dalil-dali pasti, tetapi hanya menangkap dengan akal. Selain itu juga tidak ada sanad sebagai mana hadits.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-tafsir
bi al-ma’tsur ( Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah) tidak dapat diragukan lagi kebenarannya dan
tidak diperselisihkan karena keduanya mempunyai kedudukan yang tinggi, sedang
penafsiran Al-qur’an dengan Sahabat atau tabi’in masih ada beberapa kelemahan
seperti yang telah Penulis uraikan pada Bab Pembahasan.
Al-tafsir
bi al-ra’y yang disebut juga
tafsir dirayah atau tafsir ma’qul (tafsir dengan akal) muncul seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah yang menuntut adanya
perkembangan metodologi tafsir yang memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Muhammad. 1997. Berdialogdengan Al-quran. Bandung : MIZAN
Al-Qaradhawi,
Yusuf. 1999. Berinteraksidengan Al-qur’an. Jakarta :GemaInsani
As-Shalih,
Subhi. 1999. Membahasilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta
:PustakaFirdaus
Ali Shabuni,
Muhammad. 2001. Ikhtisarulumul Qur’an praktis. Jakarta
:PustakaAmani
Goldziher,
Ignaz. 2003. MadzhabTafsir. Yogyakarta : El-Saq Press
0 komentar:
Posting Komentar